Kab. Limapuluh Kota, Sumbar – Pembangunan gedung strategis Dinas Pendidikan Kabupaten Limapuluh Kota yang digarap oleh Dinas PUPR menjadi sorotan. Proyek senilai Rp4,8 miliar yang menggunakan APBD Kabupaten Limapuluh Kota Tahun Anggaran 2024 ini diduga kuat salah perencanaan dan minim kajian mendalam.
Lokasi pembangunan yang berada di kawasan rawa rawan banjir di Jorong Sarilamak, Nagari Sarilamak, Kecamatan Harau, dikritik banyak pihak sebagai proyek yang tidak prioritas. Tidak hanya itu, akses menuju lokasi pembangunan yang belum tersedia menambah polemik.
Lokasi Tanpa Akses Jalan
Menurut sumber, tanah tempat gedung ini dibangun adalah aset Pemkab Limapuluh Kota, namun jalan akses sepanjang ±110 meter yang pernah ditimbun tahun 2022 ternyata berada di atas lahan warga. Lahan tersebut mencakup tanah ulayat milik empat suku dan tanah pribadi bersertifikat atas nama Zulkifli. Hingga kini, masalah kompensasi lahan belum selesai.
“Kalau jalan menuju kantor tidak segera diselesaikan, warga bisa saja menutup akses kapan saja. Ini akan menambah persoalan panjang,” kata sumber yang tidak ingin disebutkan namanya.
Tidak Ada AMDAL?
Pembangunan gedung ini juga dipertanyakan karena diduga tidak memenuhi persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sebagai dokumen wajib, AMDAL berfungsi mencegah dampak buruk lingkungan seperti banjir yang sudah menjadi langganan di kawasan tersebut.
“Pembangunan gedung di rawa seharusnya dibarengi upaya mitigasi, seperti meninggikan dasar bangunan. Namun, ini justru terkesan asal bangun,” kritik pemerhati lingkungan setempat.
Tudingan “Proyek Bancakan”
Proyek ini juga disinyalir menjadi bancakan dengan indikasi kuat pengaturan pemenang tender. PT. Hobashita Fujitama, rekanan dari Jawa yang belum pernah beroperasi di Limapuluh Kota, memenangkan tender. Hal ini memicu protes dari rekanan lokal yang merasa tersisih.
“Kami mencium ada campur tangan ‘orang kuat’ di Pemkab, mungkin dari kalangan dekat bupati. Rekanan lokal jelas dirugikan,” ujar salah seorang rekanan lokal yang enggan disebutkan identitasnya.
Proyek Tidak Selesai Tepat Waktu
Ketua Umum LSM Aliansi Jurnalis Anti Rasuah (AJAR), Soni SH, MH, juga menyoroti progres pembangunan yang tidak mencapai target. “Selama 150 hari kerja, bobot pekerjaan hanya mencapai 80% dan ditambah kontrak hingga akhir hanya mencapai 90%. Proyek ini jelas bermasalah,” tegasnya.
Pihak kontraktor menyebut berbagai kendala, termasuk akses jalan yang belum tersedia, sebagai penyebab keterlambatan. Namun, masyarakat menolak dijadikan kambing hitam.
“Kami mendukung pembangunan, tapi rekanan terlihat tidak mampu sejak awal. Jangan selalu mencari alasan,” tegas salah satu tokoh masyarakat setempat.
Kini, masalah ini tengah menjadi perhatian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sumbar. Apakah pembangunan ini murni kesalahan perencanaan atau ada indikasi korupsi di baliknya, publik menunggu hasil investigasi lebih lanjut.
(Tim Liputan)