Tesso Nilo bukan sekadar cerita penertiban kawasan konservasi. Ia adalah panggung tragis yang mencerminkan wajah negara: lama absen, lalu tiba-tiba datang dengan senjata dan surat penggusuran.
Di tengah rimba Sumatra, ada sebuah kisah panjang yang dipadatkan negara hanya menjadi satu kata: relokasi. Tapi bagaimana mungkin satu kata sanggup mewakili sejarah kehidupan ribuan manusia, generasi yang tumbuh di antara pepohonan dan tanah yang mereka rawat?
Tesso Nilo bukanlah ruang kosong yang tiba-tiba diokupasi. Ia adalah hasil dari puluhan tahun kekosongan kebijakan, kelambanan moral, dan pembiaran sistemik. Negara tahu kawasan ini telah berubah—hutan tropis yang dulu lebat kini menjadi mosaik sawit, jalan tanah, rumah-rumah kayu, bahkan sekolah dan pasar. Tapi negara memilih diam. Dan dalam politik, diam bukanlah netralitas. Diam adalah tindakan. Pembiaran yang membentuk kenyataan baru tanpa kehadiran hukum.
Negara yang Absen Terlalu Lama
Saat negara memilih tak hadir sebagai pemimpin, masyarakat membangun sistemnya sendiri. Mereka bukan perambah instan, tapi warga yang bertahan hidup dalam ketidakpastian. Mereka menciptakan ruang hidup di tengah definisi “ilegal” yang diberikan tanpa pernah diajak bicara.
Namun ketika kerusakan ekologis tak bisa lagi disembunyikan, negara datang—terlambat, tapi tergesa. Dan seperti biasa, yang datang lebih dulu adalah aparat, bukan perencana sosial. Yang muncul lebih cepat adalah ancaman, bukan dialog.
Konservasi yang Terjebak di Abad Lalu
Negara masih terpaku pada logika konservasi usang: bahwa menyelamatkan alam berarti menyingkirkan manusia. Dalam imajinasi ini, hutan harus steril dari kehidupan manusia demi kelangsungan satwa liar. Padahal pendekatan seperti itu telah lama dikritik oleh para pemikir political ecology. Di berbagai belahan dunia, konservasi model ini terbukti gagal: menciptakan konflik, mengusir warga, dan merusak kepercayaan.
Sebaliknya, keadilan ekologis menawarkan jalan yang lebih adil dan berkelanjutan: melihat manusia bukan sebagai ancaman, tapi sebagai bagian dari ekosistem. Bahwa menjaga alam tidak harus berarti mengusir warga, tapi mengajak mereka menjaga bersama. Kolaborasi, bukan pemaksaan.
Krisis Kepercayaan
Apa yang terjadi di Tesso Nilo hari ini adalah ledakan dari akumulasi ketidakadilan. Ribuan orang turun ke jalan. Mereka bukan hanya menolak dipindahkan—mereka menolak cara negara memperlakukan mereka: sebagai beban, bukan sebagai warga. Sebagai gangguan, bukan sebagai manusia.
Ini bukan soal konservasi semata. Ini soal alienasi struktural—ketika negara menjadi entitas yang hanya hadir untuk menghukum, bukan melindungi. Warga kehilangan rasa memiliki terhadap negara yang seharusnya mereka percayai. Dan itu adalah krisis yang tak bisa diselesaikan dengan kawat berduri atau surat perintah.
Dari Proyek Steril ke Konservasi Hidup
Negara harus berhenti memperlakukan konservasi sebagai proyek teknokratis yang kering dari nilai-nilai kemanusiaan. Kita tak bisa menyelamatkan hutan sambil melukai manusia. Kita tak bisa melindungi gajah sambil mengusir anak-anak dari sekolah yang mereka bangun sendiri di tengah hutan.
Konservasi harus berubah menjadi proyek hidup. Sebuah perwujudan keadilan ekologis, di mana warga diajak sebagai mitra: diberi pendidikan lingkungan, insentif berkelanjutan, pengakuan hak kelola, hingga ruang dialog yang setara. Jalan ini memang lebih panjang. Tapi ia lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih lestari.
Bercermin di Tesso Nilo
Tesso Nilo bukan hanya tentang menyelamatkan bentang alam. Ia adalah cermin: bagaimana negara memperlakukan rakyatnya yang paling pinggir. Apakah rakyat dianggap mitra, atau justru gangguan? Apakah negara hadir sebagai pelindung kehidupan, atau hanya operator proyek konservasi yang dingin dan jauh dari nurani?
Kita harus belajar dari tragedi ini. Negara yang terlalu lama diam, lalu tiba-tiba hadir dengan tangan besi, bukanlah negara yang bijak. Itu adalah negara yang gagal membaca ruang, gagal membaca waktu, dan gagal membaca nurani.
Dan jika cara ini terus dipertahankan, kita bukan hanya akan kehilangan Tesso Nilo. Kita akan kehilangan kepercayaan rakyat. Dan ketika kepercayaan runtuh, tak ada hutan, hukum, atau pembangunan yang bisa bertahan.
Pejuanginformasiindonesia***